Senin, 23 Maret 2020

Pemberontakan Indonesia Terhadap Jepang


PEMBRONTAKAN INDONESIA TERHADAP JEPANG

Tapi apakah masyarakat kita diam saja? Tentu saja tidak . Bangsa kita kemudian mencoba untuk membuat berbagai siasat untuk melakukan perlawanan terhadap Jepang. Masyarakat kita pada waktu itu tidak terima terus menerus dijadikan romusha, sedangkan hasilnya yang menikmati adalah Jepang. Nah, mulailah bangsa kita dengan strateginya melalui organisasi-organisasi yang dibentuk oleh Jepang, dan juga melalui gerakan-gerakan bawah tanah. Bentuk perlawanan rakyat Indonesia yang berbeda dilakukan oleh bangsa kita, akan tetapi tujuan dan cita-cita perjuangan mereka tetaplah sama, mencapai kemerkedaan Indonesia.
 
bentuk perlawanan rakyat indonesia

Beberapa wilayah yang dikuasai oleh Jepang dan mendapat perlawanan dari rakyat Indonesia diantaranya:

1) Perlawanan di Aceh
Aceh menjadi salah satu wilayah yang dikuasai Jepang. Masyarakat Aceh diperlakukan dengan sewenang-wenang dan mengalami penderitaan yang cukup lama karena banyak rakyat Aceh yang dikerahkan untuk Romusha. Akibat hal itu, pada 10 November 1942 terjadi penyerangan terhadap Jepang di Cot Plieng, penyerangan tersebut dipimpin oleh Tengku Abdul Jalil yang merupakan seorang guru mengaji di Cot Plieng. Sebanyak dua kali Jepang berusaha menaklukan wilayah Cot Plieng, dua-duanya pun berhasil digagalkan oleh rakyat Aceh dengan serangannya, dan berhasil memukul mundur Jepang ke daerah Lhokseumawe. Kemudian pada serangan ketiga, Jepang berhasil merebut Cot Plieng, dan Tengku Abdul Jalil harus gugur di tempat saat sedang beribadah. Kebencian rakyat pun semakin bertambah.

2) Perlawanan di Singaparna (Tasikmalaya)
Singaparna, Tasikmalaya, menjadi salah satu wilayah yang berhasil di duduki oleh Jepang. Pada masa itu, rakyat Singaparna dipaksa untuk mengikuti upacara Seikerei. Upacara Seikerei merupakan upacara penghormatan kepada kaisar Jepang dengan cara membungkuk kearah matahari terbit. Dengan cara seperti ini, masyarakat Singaparna merasa sangat dipermalukan dan dilecehkan. Selain itu, mereka juga merasa menderita karena diperlakukan secara sewenang-wenang dan kasar oleh Jepang. Akibatnya, pada bulan Februari 1944, rakyat Singaparna melakukan perlawanan terhadap Jepang. Pasukan perlawanan dipimpin oleh Kiai Zainal Mustofa. Akan tetapi Jepang berhasil menangkap Kiai Zainal Mustofa pada tanggal 25 Februari 1944, dan pada tanggal 25 Oktober 1944, Kiai Zainal harus menghentikan perjuangannya setelah beliau dihukum mati.

bentuk perlawanan rakyat indonesia
K.H. Zainal Mustofa (Sumber: en.wikipedia.org)

3) Perlawanan di Indramayu
Indramayu mendapatkan perlakuan yang sama oleh Jepang, masyarakat Indramayu dipaksa menjadi romusha, bekerja di bawah tekanan dan diperlakukan secara sewenang-wenang. Oleh karena itu, masyarakat Indramayu juga melakukan perlawanan terhadap Jepang. Pemberontakan tersebut terjadi di Desa Kaplongan pada bulan April 1944. Selanjutnya beberapa bulan kemudian, tepatnya tanggal 30 Juli 1944 terjadi pemberontakan di Desa Cidempet, Kecamatan Loh Bener.

4) Perlawanan di Blitar (Pemberontakan PETA)
Perlawanan juga terjadi di Blitar. Pada tanggal 14 Februari 1945 terjadi pemberontakan yang dilakukan para tentara PETA (Pembela Tanah Air) di bawah pimpinan Supriyadi. Pemberontakan ini merupakan pemberontakan terbesar pada masa pendudukan Jepang.

bentuk perlawanan rakyat indonesia
Sidang pengadilan anggota PETA. (Sumber: guruips.com)


PEMBERONTAKAN PETA DI BLITAR


Tindakan Jepang yang menyengsarakan rakyat Indonesia selama pendudukan, memicu rakyat melakukan perlawanan. Pembela Tanah Air (PETA) berada di bawah kendali pemerintah militer Jepang bahkan ikut memberontak. Ini disebabkan karena perwira PETA kerap direndahkan oleh Jepang. Para syidokan yang melatih mereka bersikap congkak dan sombong. Mereka juga tak tahan melihat romusha dan pemerasan yang dilakukan Jepang. Dikutip dari Masa Pendudukan Jepang di Indonesia (2019), salah satu perlawanan PETA terjadi di Daidan (Batalyon) Blitar. Daidan Blitar dibentuk pada 25 Desember 1943. Pemimpinnya adalah Shodanco Supriyadi. Tak tahan melihat romusha Pemberontakan dipicu kejadian usai latihan militer. Sore itu, anggota Daidan Blitar baru pulang latihan. Tiba-tiba mereka mendengar jeritan para petani. Petani dipaksa menjual padinya kepada kumiai (organisasi pembeli padi) melebihi jatah yang telah ditentukan. Itu mengakibatkan padi untuk kebutuhan keluarganya sendiri tak cukup. Mereka terancam kelaparan.

 Para tentara PETA juga mendengar Jepang telah memerintahkan pembelian telur besar-besaran dengan harga murah untuk tentara PETA. Padahal mereka sendiri tidak pernah mendapatkan jatah telur. Sejak dini hari, para romusha dipaksa bekerja berat hingga sore. Tanpa makan dan tanpa upah. Makanan dan bantuan kesehatan sangat minim sehingga separuh dari mereka jatuh sakit dan meninggal dalam waktu singkat. Pada akhir 1944, sejumlah penduduk laki-laki di desa-desa sekitar mereka berkurang sehingga sebagai gantinya dikerahkan romusha perempuqan. Para perempuan pun mengalami penyiksaan dan menjadi korban. Jumlah korban romusha perempuan lebih banyak dari romusha laki-laki. Supriyadi pun pernah menggelar rapat rahasia. 

Saat itu ia mengungkapkan bahwa tujuan perlawanan adalah untuk mencapai kemerdekaan. Kemudian, Shodanco Suparjono juga kerap mengajak bawahannya untuk menyanyikan Indonesia Raya dan Di Timur Matahari. Shodanco Partoharjono bahkan mengibarkan bendera Merah Putih di sebuah lapangan besar pada 14 Februari 1945. (Kementerian Sosial) Pemberontakan Supriyadi Dikutip dari Mencari Supriyadi: Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno (2008), pada 29 Februari 1945 dini hari, Supriyadi dan pasukannya mulai bergerak melawan tentara Jepang. Mereka melepaskan tembakan mortir, senapan mesin, dan granat, lalu keluar dengan senjata lengkap. Setelah Jepang mengetahui adanya aksi itu, Jepang segera mendatangkan pasukannya. Pasukan Jepang juag dipersenjatai tank dan pesawat udara. Mereka mencoba menghalau tentara PETA yang melakukan perlawanan. Kekuatan tentara Jepang sulit ditandingi. Jepang menguasai seluruh Kota Blitar. Pimpinan tentara Jepang pun menyerukan agar tentara PETA menyerah dan kembali ke kesatuan masing-masing. Akan tetapi mereka yang kembali justru ditangkap, ditahan, dan disiksa polisi Jepang. Kurang lebih setengah pasukan Supriyadi kembali. Namun Supriyadi sendiri, Muradi, dan sisa pasukannya tetap setia melawan. Mereka membuat pertahanan di lereng Gunung Kawi dan Distrik Pare. Jepang berupaya menahan perlawanan Supriyadi dengan memblokir serta mengepung pertahanannya. Namun pasukan Supriyadi tetap bertahan. Jepang pun sulit mematahkan tekad dan keuletan pasukan Supriyadi. Untuk itu, Jepang menggunakan tipu muslihat.

Kolonel Katagiri kemudian bertukar pikiran dengan anggota pasukan PETA dengan halus. Sikap itu membalikkan hati para pemuda yang sebelumnya geram terhadap Jepang. Kolonel Katagiri berhasil mengadakan persetujuan dengan mereka. Para pemuda PETA yang melancarkan serangan pun bersedia kembali ke daidan dan menyerahkan senjata. Katagiri menjanjikan pemberontakan yang telah terjadi hanyalah masalah intern yang tak perlu dibawa ke pengadilan militer. Semua akan diurus oleh Daidanco Surakhmad. Di sana sudah berderet barisan perwiran di bawah pimpinan Daidanco Surakhmad. Kepada Surakhmad, Muradi melaporkan mereka sudah kembali dan menyesal karena telah melawan Jepang. Karena sudah malam, Muradi tak melihat bahwa pasukan Jepang sudah mengepung mereka. Senjata mereka pun dilucuti dan langsung ditahan. Muradi dan anak buahnya diangkut ke markas kempetai Blitar. Ada yang dihukum seumur hidup dan ada yang dihukum mati. Mereka yang dipidana mati yakni dr. Ismail, Muradi, Suparyono, Halir Mankudijoyo, Sunanto, dan Sudarmo. Sementara Supriyadi sendiri tidak jelas nasibnya dan tidak disebut dalam persidangan. Tidak diketahui apakah ia tewas dalam pertempuran atau dihukum mati secara rahasia.


Nama Anggota Kelompok 2 :
  1. Aisyah Sazma T.
  2. Adhilla Mulia
  3. Alif Nafis Risqullah
  4.  Angelika Putri
  5. Danu Septiawan
  6. Kanaia Maharani
  7. Nurlatifah Ramadhani
  8. Rayhan Dimento
  9. Raznan Hafizan
  10. Riza Razu
  11. T.M Atallah Fadil
  12. Widya Anggita
KOMPAS.com - Tindakan Jepang yang menyengsarakan rakyat Indonesia selama pendudukan, memicu rakyat melakukan perlawanan. Pembela Tanah Air (PETA) berada di bawah kendali pemerintah militer Jepang bahkan ikut memberontak. Ini disebabkan karena perwira PETA kerap direndahkan oleh Jepang. Para syidokan yang melatih mereka bersikap congkak dan sombong. Mereka juga tak tahan melihat romusha dan pemerasan yang dilakukan Jepang. Dikutip dari Masa Pendudukan Jepang di Indonesia (2019), salah satu perlawanan PETA terjadi di Daidan (Batalyon) Blitar. Daidan Blitar dibentuk pada 25 Desember 1943. Pemimpinnya adalah Shodanco Supriyadi. Baca juga: PETA, Pasukan Indonesia Bentukan Jepang Saat itu, Supriyadi dikenal sebagai pemrakarsa pemberontakan terhadap kekuasaan pemerintah Jepang. Tak tahan melihat romusha Pemberontakan dipicu kejadian usai latihan militer. Sore itu, anggota Daidan Blitar baru pulang latihan. Tiba-tiba mereka mendengar jeritan para petani. Petani dipaksa menjual padinya kepada kumiai (organisasi pembeli padi) melebihi jatah yang telah ditentukan. Itu mengakibatkan padi untuk kebutuhan keluarganya sendiri tak cukup. Mereka terancam kelaparan. Para tentara PETA juga mendengar Jepang telah memerintahkan pembelian telur besar-besaran dengan harga murah untuk tentara PETA. Padahal mereka sendiri tidak pernah mendapatkan jatah telur. Baca juga: Kerja Rodi dan Romusha, Kerja Paksa Zaman Penjajahan Kekecewaan tentara PETA makin menjadi-jadi ketika mereka ditugasi mengawas pekerjaan para romusha membangun kubu di Pantai Selatan. Sejak dini hari, para romusha dipaksa bekerja berat hingga sore. Tanpa makan dan tanpa upah. Makanan dan bantuan kesehatan sangat minim sehingga separuh dari mereka jatuh sakit dan meninggal dalam waktu singkat. Pada akhir 1944, sejumlah penduduk laki-laki di desa-desa sekitar mereka berkurang sehingga sebagai gantinya dikerahkan romusha perempuqan. Para perempuan pun mengalami penyiksaan dan menjadi korban. Jumlah korban romusha perempuan lebih banyak dari romusha laki-laki. Baca juga: Fujinkai, Barisan Wanita Bentukan Jepang Penderitaan rakyat memunculkan rasa nasionalisme dan keprihatinan dari para tentara PETA Blitar. Supriyadi pun pernah menggelar rapat rahasia. Saat itu ia mengungkapkan bahwa tujuan perlawanan adalah untuk mencapai kemerdekaan. Kemudian, Shodanco Suparjono juga kerap mengajak bawahannya untuk menyanyikan Indonesia Raya dan Di Timur Matahari. Shodanco Partoharjono bahkan mengibarkan bendera Merah Putih di sebuah lapangan besar pada 14 Februari 1945. Baca juga: Heiho dan PETA, Organisasi Militer Bentukan Jepang Supriyadi, Pemimpin pemberontakan PETA di Blitar. Lihat Foto Supriyadi, Pemimpin pemberontakan PETA di Blitar.(Kementerian Sosial) Pemberontakan Supriyadi Dikutip dari Mencari Supriyadi: Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno (2008), pada 29 Februari 1945 dini hari, Supriyadi dan pasukannya mulai bergerak melawan tentara Jepang. Mereka melepaskan tembakan mortir, senapan mesin, dan granat, lalu keluar dengan senjata lengkap. Setelah Jepang mengetahui adanya aksi itu, Jepang segera mendatangkan pasukannya. Pasukan Jepang juag dipersenjatai tank dan pesawat udara. Mereka mencoba menghalau tentara PETA yang melakukan perlawanan. Kekuatan tentara Jepang sulit ditandingi. Jepang menguasai seluruh Kota Blitar. Pimpinan tentara Jepang pun menyerukan agar tentara PETA menyerah dan kembali ke kesatuan masing-masing. Baca juga: Perlawanan Rakyat Indonesia Terhadap Jepang Beberapa kesatuan tunduk pada perintah Jepang. Akan tetapi mereka yang kembali justru ditangkap, ditahan, dan disiksa polisi Jepang. Kurang lebih setengah pasukan Supriyadi kembali. Namun Supriyadi sendiri, Muradi, dan sisa pasukannya tetap setia melawan. Mereka membuat pertahanan di lereng Gunung Kawi dan Distrik Pare. Jepang berupaya menahan perlawanan Supriyadi dengan memblokir serta mengepung pertahanannya. Namun pasukan Supriyadi tetap bertahan. Jepang pun sulit mematahkan tekad dan keuletan pasukan Supriyadi. Untuk itu, Jepang menggunakan tipu muslihat. Baca juga: Perang Asia Timur Raya: Latar Belakang dan Posisi Jepang Komandan pasukan Jepang, Kolonel Katagiri berpura-pura menyerah kepada pasukan Muradi. Kolonel Katagiri kemudian bertukar pikiran dengan anggota pasukan PETA dengan halus. Sikap itu membalikkan hati para pemuda yang sebelumnya geram terhadap Jepang. Kolonel Katagiri berhasil mengadakan persetujuan dengan mereka. Para pemuda PETA yang melancarkan serangan pun bersedia kembali ke daidan dan menyerahkan senjata. Katagiri menjanjikan pemberontakan yang telah terjadi hanyalah masalah intern yang tak perlu dibawa ke pengadilan militer. Semua akan diurus oleh Daidanco Surakhmad. Baca juga: Sistem Pemerintahan Militer Jepang di Indonesia Dijebak Berdasarkan kesepakatan itu, maka pada suatu hari sekitar pukul 8 malam, Muradi dan pasukannya kembali ke daidan. Di sana sudah berderet barisan perwiran di bawah pimpinan Daidanco Surakhmad. Kepada Surakhmad, Muradi melaporkan mereka sudah kembali dan menyesal karena telah melawan Jepang. Karena sudah malam, Muradi tak melihat bahwa pasukan Jepang sudah mengepung mereka. Senjata mereka pun dilucuti dan langsung ditahan. Muradi dan anak buahnya diangkut ke markas kempetai Blitar. Baca juga: Dampak Pendudukan Jepang di Indonesia Sementara Supriyadi yang masih bertahan, akhirnya berhasil ditangkap juga oleh Jepang. Mereka semua, sebanyak 68 orang, diadili di depan Mahkamah Militer Jepang di Jakarta. Ada yang dihukum seumur hidup dan ada yang dihukum mati. Mereka yang dipidana mati yakni dr. Ismail, Muradi, Suparyono, Halir Mankudijoyo, Sunanto, dan Sudarmo. Sementara Supriyadi sendiri tidak jelas nasibnya dan tidak disebut dalam persidangan. Tidak diketahui apakah ia tewas dalam pertempuran atau dihukum mati secara rahasia.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pemberontakan PETA di Blitar", https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/16/190000769/pemberontakan-peta-di-blitar?page=all.
Penulis : Nibras Nada Nailufar
Editor : Nibras Nada Nail
KOMPAS.com - Tindakan Jepang yang menyengsarakan rakyat Indonesia selama pendudukan, memicu rakyat melakukan perlawanan. Pembela Tanah Air (PETA) berada di bawah kendali pemerintah militer Jepang bahkan ikut memberontak. Ini disebabkan karena perwira PETA kerap direndahkan oleh Jepang. Para syidokan yang melatih mereka bersikap congkak dan sombong. Mereka juga tak tahan melihat romusha dan pemerasan yang dilakukan Jepang. Dikutip dari Masa Pendudukan Jepang di Indonesia (2019), salah satu perlawanan PETA terjadi di Daidan (Batalyon) Blitar. Daidan Blitar dibentuk pada 25 Desember 1943. Pemimpinnya adalah Shodanco Supriyadi. Baca juga: PETA, Pasukan Indonesia Bentukan Jepang Saat itu, Supriyadi dikenal sebagai pemrakarsa pemberontakan terhadap kekuasaan pemerintah Jepang. Tak tahan melihat romusha Pemberontakan dipicu kejadian usai latihan militer. Sore itu, anggota Daidan Blitar baru pulang latihan. Tiba-tiba mereka mendengar jeritan para petani. Petani dipaksa menjual padinya kepada kumiai (organisasi pembeli padi) melebihi jatah yang telah ditentukan. Itu mengakibatkan padi untuk kebutuhan keluarganya sendiri tak cukup. Mereka terancam kelaparan. Para tentara PETA juga mendengar Jepang telah memerintahkan pembelian telur besar-besaran dengan harga murah untuk tentara PETA. Padahal mereka sendiri tidak pernah mendapatkan jatah telur. Baca juga: Kerja Rodi dan Romusha, Kerja Paksa Zaman Penjajahan Kekecewaan tentara PETA makin menjadi-jadi ketika mereka ditugasi mengawas pekerjaan para romusha membangun kubu di Pantai Selatan. Sejak dini hari, para romusha dipaksa bekerja berat hingga sore. Tanpa makan dan tanpa upah. Makanan dan bantuan kesehatan sangat minim sehingga separuh dari mereka jatuh sakit dan meninggal dalam waktu singkat. Pada akhir 1944, sejumlah penduduk laki-laki di desa-desa sekitar mereka berkurang sehingga sebagai gantinya dikerahkan romusha perempuqan. Para perempuan pun mengalami penyiksaan dan menjadi korban. Jumlah korban romusha perempuan lebih banyak dari romusha laki-laki. Baca juga: Fujinkai, Barisan Wanita Bentukan Jepang Penderitaan rakyat memunculkan rasa nasionalisme dan keprihatinan dari para tentara PETA Blitar. Supriyadi pun pernah menggelar rapat rahasia. Saat itu ia mengungkapkan bahwa tujuan perlawanan adalah untuk mencapai kemerdekaan. Kemudian, Shodanco Suparjono juga kerap mengajak bawahannya untuk menyanyikan Indonesia Raya dan Di Timur Matahari. Shodanco Partoharjono bahkan mengibarkan bendera Merah Putih di sebuah lapangan besar pada 14 Februari 1945. Baca juga: Heiho dan PETA, Organisasi Militer Bentukan Jepang Supriyadi, Pemimpin pemberontakan PETA di Blitar. Lihat Foto Supriyadi, Pemimpin pemberontakan PETA di Blitar.(Kementerian Sosial) Pemberontakan Supriyadi Dikutip dari Mencari Supriyadi: Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno (2008), pada 29 Februari 1945 dini hari, Supriyadi dan pasukannya mulai bergerak melawan tentara Jepang. Mereka melepaskan tembakan mortir, senapan mesin, dan granat, lalu keluar dengan senjata lengkap. Setelah Jepang mengetahui adanya aksi itu, Jepang segera mendatangkan pasukannya. Pasukan Jepang juag dipersenjatai tank dan pesawat udara. Mereka mencoba menghalau tentara PETA yang melakukan perlawanan. Kekuatan tentara Jepang sulit ditandingi. Jepang menguasai seluruh Kota Blitar. Pimpinan tentara Jepang pun menyerukan agar tentara PETA menyerah dan kembali ke kesatuan masing-masing. Baca juga: Perlawanan Rakyat Indonesia Terhadap Jepang Beberapa kesatuan tunduk pada perintah Jepang. Akan tetapi mereka yang kembali justru ditangkap, ditahan, dan disiksa polisi Jepang. Kurang lebih setengah pasukan Supriyadi kembali. Namun Supriyadi sendiri, Muradi, dan sisa pasukannya tetap setia melawan. Mereka membuat pertahanan di lereng Gunung Kawi dan Distrik Pare. Jepang berupaya menahan perlawanan Supriyadi dengan memblokir serta mengepung pertahanannya. Namun pasukan Supriyadi tetap bertahan. Jepang pun sulit mematahkan tekad dan keuletan pasukan Supriyadi. Untuk itu, Jepang menggunakan tipu muslihat. Baca juga: Perang Asia Timur Raya: Latar Belakang dan Posisi Jepang Komandan pasukan Jepang, Kolonel Katagiri berpura-pura menyerah kepada pasukan Muradi. Kolonel Katagiri kemudian bertukar pikiran dengan anggota pasukan PETA dengan halus. Sikap itu membalikkan hati para pemuda yang sebelumnya geram terhadap Jepang. Kolonel Katagiri berhasil mengadakan persetujuan dengan mereka. Para pemuda PETA yang melancarkan serangan pun bersedia kembali ke daidan dan menyerahkan senjata. Katagiri menjanjikan pemberontakan yang telah terjadi hanyalah masalah intern yang tak perlu dibawa ke pengadilan militer. Semua akan diurus oleh Daidanco Surakhmad. Baca juga: Sistem Pemerintahan Militer Jepang di Indonesia Dijebak Berdasarkan kesepakatan itu, maka pada suatu hari sekitar pukul 8 malam, Muradi dan pasukannya kembali ke daidan. Di sana sudah berderet barisan perwiran di bawah pimpinan Daidanco Surakhmad. Kepada Surakhmad, Muradi melaporkan mereka sudah kembali dan menyesal karena telah melawan Jepang. Karena sudah malam, Muradi tak melihat bahwa pasukan Jepang sudah mengepung mereka. Senjata mereka pun dilucuti dan langsung ditahan. Muradi dan anak buahnya diangkut ke markas kempetai Blitar. Baca juga: Dampak Pendudukan Jepang di Indonesia Sementara Supriyadi yang masih bertahan, akhirnya berhasil ditangkap juga oleh Jepang. Mereka semua, sebanyak 68 orang, diadili di depan Mahkamah Militer Jepang di Jakarta. Ada yang dihukum seumur hidup dan ada yang dihukum mati. Mereka yang dipidana mati yakni dr. Ismail, Muradi, Suparyono, Halir Mankudijoyo, Sunanto, dan Sudarmo. Sementara Supriyadi sendiri tidak jelas nasibnya dan tidak disebut dalam persidangan. Tidak diketahui apakah ia tewas dalam pertempuran atau dihukum mati secara rahasia.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pemberontakan PETA di Blitar", https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/16/190000769/pemberontakan-peta-di-blitar?page=all.
Penulis : Nibras Nada Nailufar
Editor : Nibras Nada Nailufar
KOMPAS.com - Tindakan Jepang yang menyengsarakan rakyat Indonesia selama pendudukan, memicu rakyat melakukan perlawanan. Pembela Tanah Air (PETA) berada di bawah kendali pemerintah militer Jepang bahkan ikut memberontak. Ini disebabkan karena perwira PETA kerap direndahkan oleh Jepang. Para syidokan yang melatih mereka bersikap congkak dan sombong. Mereka juga tak tahan melihat romusha dan pemerasan yang dilakukan Jepang. Dikutip dari Masa Pendudukan Jepang di Indonesia (2019), salah satu perlawanan PETA terjadi di Daidan (Batalyon) Blitar. Daidan Blitar dibentuk pada 25 Desember 1943. Pemimpinnya adalah Shodanco Supriyadi. Baca juga: PETA, Pasukan Indonesia Bentukan Jepang Saat itu, Supriyadi dikenal sebagai pemrakarsa pemberontakan terhadap kekuasaan pemerintah Jepang. Tak tahan melihat romusha Pemberontakan dipicu kejadian usai latihan militer. Sore itu, anggota Daidan Blitar baru pulang latihan. Tiba-tiba mereka mendengar jeritan para petani. Petani dipaksa menjual padinya kepada kumiai (organisasi pembeli padi) melebihi jatah yang telah ditentukan. Itu mengakibatkan padi untuk kebutuhan keluarganya sendiri tak cukup. Mereka terancam kelaparan. Para tentara PETA juga mendengar Jepang telah memerintahkan pembelian telur besar-besaran dengan harga murah untuk tentara PETA. Padahal mereka sendiri tidak pernah mendapatkan jatah telur. Baca juga: Kerja Rodi dan Romusha, Kerja Paksa Zaman Penjajahan Kekecewaan tentara PETA makin menjadi-jadi ketika mereka ditugasi mengawas pekerjaan para romusha membangun kubu di Pantai Selatan. Sejak dini hari, para romusha dipaksa bekerja berat hingga sore. Tanpa makan dan tanpa upah. Makanan dan bantuan kesehatan sangat minim sehingga separuh dari mereka jatuh sakit dan meninggal dalam waktu singkat. Pada akhir 1944, sejumlah penduduk laki-laki di desa-desa sekitar mereka berkurang sehingga sebagai gantinya dikerahkan romusha perempuqan. Para perempuan pun mengalami penyiksaan dan menjadi korban. Jumlah korban romusha perempuan lebih banyak dari romusha laki-laki. Baca juga: Fujinkai, Barisan Wanita Bentukan Jepang Penderitaan rakyat memunculkan rasa nasionalisme dan keprihatinan dari para tentara PETA Blitar. Supriyadi pun pernah menggelar rapat rahasia. Saat itu ia mengungkapkan bahwa tujuan perlawanan adalah untuk mencapai kemerdekaan. Kemudian, Shodanco Suparjono juga kerap mengajak bawahannya untuk menyanyikan Indonesia Raya dan Di Timur Matahari. Shodanco Partoharjono bahkan mengibarkan bendera Merah Putih di sebuah lapangan besar pada 14 Februari 1945. Baca juga: Heiho dan PETA, Organisasi Militer Bentukan Jepang Supriyadi, Pemimpin pemberontakan PETA di Blitar. Lihat Foto Supriyadi, Pemimpin pemberontakan PETA di Blitar.(Kementerian Sosial) Pemberontakan Supriyadi Dikutip dari Mencari Supriyadi: Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno (2008), pada 29 Februari 1945 dini hari, Supriyadi dan pasukannya mulai bergerak melawan tentara Jepang. Mereka melepaskan tembakan mortir, senapan mesin, dan granat, lalu keluar dengan senjata lengkap. Setelah Jepang mengetahui adanya aksi itu, Jepang segera mendatangkan pasukannya. Pasukan Jepang juag dipersenjatai tank dan pesawat udara. Mereka mencoba menghalau tentara PETA yang melakukan perlawanan. Kekuatan tentara Jepang sulit ditandingi. Jepang menguasai seluruh Kota Blitar. Pimpinan tentara Jepang pun menyerukan agar tentara PETA menyerah dan kembali ke kesatuan masing-masing. Baca juga: Perlawanan Rakyat Indonesia Terhadap Jepang Beberapa kesatuan tunduk pada perintah Jepang. Akan tetapi mereka yang kembali justru ditangkap, ditahan, dan disiksa polisi Jepang. Kurang lebih setengah pasukan Supriyadi kembali. Namun Supriyadi sendiri, Muradi, dan sisa pasukannya tetap setia melawan. Mereka membuat pertahanan di lereng Gunung Kawi dan Distrik Pare. Jepang berupaya menahan perlawanan Supriyadi dengan memblokir serta mengepung pertahanannya. Namun pasukan Supriyadi tetap bertahan. Jepang pun sulit mematahkan tekad dan keuletan pasukan Supriyadi. Untuk itu, Jepang menggunakan tipu muslihat. Baca juga: Perang Asia Timur Raya: Latar Belakang dan Posisi Jepang Komandan pasukan Jepang, Kolonel Katagiri berpura-pura menyerah kepada pasukan Muradi. Kolonel Katagiri kemudian bertukar pikiran dengan anggota pasukan PETA dengan halus. Sikap itu membalikkan hati para pemuda yang sebelumnya geram terhadap Jepang. Kolonel Katagiri berhasil mengadakan persetujuan dengan mereka. Para pemuda PETA yang melancarkan serangan pun bersedia kembali ke daidan dan menyerahkan senjata. Katagiri menjanjikan pemberontakan yang telah terjadi hanyalah masalah intern yang tak perlu dibawa ke pengadilan militer. Semua akan diurus oleh Daidanco Surakhmad. Baca juga: Sistem Pemerintahan Militer Jepang di Indonesia Dijebak Berdasarkan kesepakatan itu, maka pada suatu hari sekitar pukul 8 malam, Muradi dan pasukannya kembali ke daidan. Di sana sudah berderet barisan perwiran di bawah pimpinan Daidanco Surakhmad. Kepada Surakhmad, Muradi melaporkan mereka sudah kembali dan menyesal karena telah melawan Jepang. Karena sudah malam, Muradi tak melihat bahwa pasukan Jepang sudah mengepung mereka. Senjata mereka pun dilucuti dan langsung ditahan. Muradi dan anak buahnya diangkut ke markas kempetai Blitar. Baca juga: Dampak Pendudukan Jepang di Indonesia Sementara Supriyadi yang masih bertahan, akhirnya berhasil ditangkap juga oleh Jepang. Mereka semua, sebanyak 68 orang, diadili di depan Mahkamah Militer Jepang di Jakarta. Ada yang dihukum seumur hidup dan ada yang dihukum mati. Mereka yang dipidana mati yakni dr. Ismail, Muradi, Suparyono, Halir Mankudijoyo, Sunanto, dan Sudarmo. Sementara Supriyadi sendiri tidak jelas nasibnya dan tidak disebut dalam persidangan. Tidak diketahui apakah ia tewas dalam pertempuran atau dihukum mati secara rahasia.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pemberontakan PETA di Blitar", https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/16/190000769/pemberontakan-peta-di-blitar?page=all.
Penulis : Nibras Nada Nailufar
Editor : Nibras Nada Nailufa