PEMBRONTAKAN INDONESIA TERHADAP JEPANG
Tapi
apakah masyarakat kita diam saja? Tentu saja tidak . Bangsa kita
kemudian mencoba untuk membuat berbagai siasat untuk melakukan
perlawanan terhadap Jepang. Masyarakat kita pada waktu itu tidak terima
terus menerus dijadikan romusha, sedangkan hasilnya yang menikmati
adalah Jepang. Nah, mulailah bangsa kita dengan strateginya
melalui organisasi-organisasi yang dibentuk oleh Jepang, dan juga
melalui gerakan-gerakan bawah tanah. Bentuk perlawanan rakyat Indonesia
yang berbeda dilakukan oleh bangsa kita, akan tetapi tujuan dan
cita-cita perjuangan mereka tetaplah sama, mencapai kemerkedaan
Indonesia.

Beberapa wilayah yang dikuasai oleh Jepang dan mendapat perlawanan dari rakyat Indonesia diantaranya:
1) Perlawanan di Aceh
Aceh menjadi salah satu wilayah yang
dikuasai Jepang. Masyarakat Aceh diperlakukan dengan sewenang-wenang dan
mengalami penderitaan yang cukup lama karena banyak rakyat Aceh yang
dikerahkan untuk Romusha. Akibat hal itu, pada 10 November 1942 terjadi
penyerangan terhadap Jepang di Cot Plieng, penyerangan tersebut dipimpin
oleh Tengku Abdul Jalil yang merupakan seorang guru mengaji di Cot
Plieng. Sebanyak dua kali Jepang berusaha menaklukan wilayah Cot Plieng,
dua-duanya pun berhasil digagalkan oleh rakyat Aceh dengan serangannya,
dan berhasil memukul mundur Jepang ke daerah Lhokseumawe. Kemudian pada
serangan ketiga, Jepang berhasil merebut Cot Plieng, dan Tengku Abdul
Jalil harus gugur di tempat saat sedang beribadah. Kebencian rakyat pun
semakin bertambah.
2) Perlawanan di Singaparna (Tasikmalaya)
Singaparna,
Tasikmalaya, menjadi salah satu wilayah yang berhasil di duduki oleh
Jepang. Pada masa itu, rakyat Singaparna dipaksa untuk mengikuti upacara
Seikerei. Upacara Seikerei merupakan upacara penghormatan kepada kaisar
Jepang dengan cara membungkuk kearah matahari terbit. Dengan cara
seperti ini, masyarakat Singaparna merasa sangat dipermalukan dan
dilecehkan. Selain itu, mereka juga merasa menderita karena diperlakukan
secara sewenang-wenang dan kasar oleh Jepang. Akibatnya, pada bulan
Februari 1944, rakyat Singaparna melakukan perlawanan terhadap Jepang.
Pasukan perlawanan dipimpin oleh Kiai Zainal Mustofa. Akan tetapi Jepang
berhasil menangkap Kiai Zainal Mustofa pada tanggal 25 Februari 1944,
dan pada tanggal 25 Oktober 1944, Kiai Zainal harus menghentikan
perjuangannya setelah beliau dihukum mati.
K.H. Zainal Mustofa (Sumber: en.wikipedia.org)
3) Perlawanan di Indramayu
Indramayu
mendapatkan perlakuan yang sama oleh Jepang, masyarakat Indramayu
dipaksa menjadi romusha, bekerja di bawah tekanan dan diperlakukan
secara sewenang-wenang. Oleh karena itu, masyarakat Indramayu juga
melakukan perlawanan terhadap Jepang. Pemberontakan tersebut terjadi di
Desa Kaplongan pada bulan April 1944. Selanjutnya beberapa bulan
kemudian, tepatnya tanggal 30 Juli 1944 terjadi pemberontakan di Desa
Cidempet, Kecamatan Loh Bener.
4) Perlawanan di Blitar (Pemberontakan PETA)
Perlawanan
juga terjadi di Blitar. Pada tanggal 14 Februari 1945 terjadi
pemberontakan yang dilakukan para tentara PETA (Pembela Tanah Air) di
bawah pimpinan Supriyadi. Pemberontakan ini merupakan pemberontakan
terbesar pada masa pendudukan Jepang.
Sidang pengadilan anggota PETA. (Sumber: guruips.com)
PEMBERONTAKAN PETA DI BLITAR
Tindakan Jepang yang menyengsarakan
rakyat Indonesia selama pendudukan, memicu rakyat melakukan perlawanan. Pembela
Tanah Air (PETA) berada di bawah kendali pemerintah militer Jepang bahkan ikut
memberontak. Ini disebabkan karena perwira PETA kerap direndahkan oleh Jepang.
Para syidokan yang melatih mereka bersikap congkak dan sombong. Mereka juga tak
tahan melihat romusha dan pemerasan yang dilakukan Jepang. Dikutip dari Masa
Pendudukan Jepang di Indonesia (2019), salah satu perlawanan PETA terjadi di
Daidan (Batalyon) Blitar. Daidan Blitar dibentuk pada 25 Desember 1943.
Pemimpinnya adalah Shodanco Supriyadi. Tak tahan melihat romusha Pemberontakan
dipicu kejadian usai latihan militer. Sore itu, anggota Daidan Blitar baru
pulang latihan. Tiba-tiba mereka mendengar jeritan para petani. Petani dipaksa
menjual padinya kepada kumiai (organisasi pembeli padi) melebihi jatah yang
telah ditentukan. Itu mengakibatkan padi untuk kebutuhan keluarganya sendiri
tak cukup. Mereka terancam kelaparan.
Para tentara PETA juga mendengar Jepang telah memerintahkan pembelian telur besar-besaran dengan harga murah untuk tentara PETA. Padahal mereka sendiri tidak pernah mendapatkan jatah telur. Sejak dini hari, para romusha dipaksa bekerja berat hingga sore. Tanpa makan dan tanpa upah. Makanan dan bantuan kesehatan sangat minim sehingga separuh dari mereka jatuh sakit dan meninggal dalam waktu singkat. Pada akhir 1944, sejumlah penduduk laki-laki di desa-desa sekitar mereka berkurang sehingga sebagai gantinya dikerahkan romusha perempuqan. Para perempuan pun mengalami penyiksaan dan menjadi korban. Jumlah korban romusha perempuan lebih banyak dari romusha laki-laki. Supriyadi pun pernah menggelar rapat rahasia.
Saat itu ia mengungkapkan bahwa tujuan perlawanan adalah untuk mencapai kemerdekaan. Kemudian, Shodanco Suparjono juga kerap mengajak bawahannya untuk menyanyikan Indonesia Raya dan Di Timur Matahari. Shodanco Partoharjono bahkan mengibarkan bendera Merah Putih di sebuah lapangan besar pada 14 Februari 1945. (Kementerian Sosial) Pemberontakan Supriyadi Dikutip dari Mencari Supriyadi: Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno (2008), pada 29 Februari 1945 dini hari, Supriyadi dan pasukannya mulai bergerak melawan tentara Jepang. Mereka melepaskan tembakan mortir, senapan mesin, dan granat, lalu keluar dengan senjata lengkap. Setelah Jepang mengetahui adanya aksi itu, Jepang segera mendatangkan pasukannya. Pasukan Jepang juag dipersenjatai tank dan pesawat udara. Mereka mencoba menghalau tentara PETA yang melakukan perlawanan. Kekuatan tentara Jepang sulit ditandingi. Jepang menguasai seluruh Kota Blitar. Pimpinan tentara Jepang pun menyerukan agar tentara PETA menyerah dan kembali ke kesatuan masing-masing. Akan tetapi mereka yang kembali justru ditangkap, ditahan, dan disiksa polisi Jepang. Kurang lebih setengah pasukan Supriyadi kembali. Namun Supriyadi sendiri, Muradi, dan sisa pasukannya tetap setia melawan. Mereka membuat pertahanan di lereng Gunung Kawi dan Distrik Pare. Jepang berupaya menahan perlawanan Supriyadi dengan memblokir serta mengepung pertahanannya. Namun pasukan Supriyadi tetap bertahan. Jepang pun sulit mematahkan tekad dan keuletan pasukan Supriyadi. Untuk itu, Jepang menggunakan tipu muslihat.
Para tentara PETA juga mendengar Jepang telah memerintahkan pembelian telur besar-besaran dengan harga murah untuk tentara PETA. Padahal mereka sendiri tidak pernah mendapatkan jatah telur. Sejak dini hari, para romusha dipaksa bekerja berat hingga sore. Tanpa makan dan tanpa upah. Makanan dan bantuan kesehatan sangat minim sehingga separuh dari mereka jatuh sakit dan meninggal dalam waktu singkat. Pada akhir 1944, sejumlah penduduk laki-laki di desa-desa sekitar mereka berkurang sehingga sebagai gantinya dikerahkan romusha perempuqan. Para perempuan pun mengalami penyiksaan dan menjadi korban. Jumlah korban romusha perempuan lebih banyak dari romusha laki-laki. Supriyadi pun pernah menggelar rapat rahasia.
Saat itu ia mengungkapkan bahwa tujuan perlawanan adalah untuk mencapai kemerdekaan. Kemudian, Shodanco Suparjono juga kerap mengajak bawahannya untuk menyanyikan Indonesia Raya dan Di Timur Matahari. Shodanco Partoharjono bahkan mengibarkan bendera Merah Putih di sebuah lapangan besar pada 14 Februari 1945. (Kementerian Sosial) Pemberontakan Supriyadi Dikutip dari Mencari Supriyadi: Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno (2008), pada 29 Februari 1945 dini hari, Supriyadi dan pasukannya mulai bergerak melawan tentara Jepang. Mereka melepaskan tembakan mortir, senapan mesin, dan granat, lalu keluar dengan senjata lengkap. Setelah Jepang mengetahui adanya aksi itu, Jepang segera mendatangkan pasukannya. Pasukan Jepang juag dipersenjatai tank dan pesawat udara. Mereka mencoba menghalau tentara PETA yang melakukan perlawanan. Kekuatan tentara Jepang sulit ditandingi. Jepang menguasai seluruh Kota Blitar. Pimpinan tentara Jepang pun menyerukan agar tentara PETA menyerah dan kembali ke kesatuan masing-masing. Akan tetapi mereka yang kembali justru ditangkap, ditahan, dan disiksa polisi Jepang. Kurang lebih setengah pasukan Supriyadi kembali. Namun Supriyadi sendiri, Muradi, dan sisa pasukannya tetap setia melawan. Mereka membuat pertahanan di lereng Gunung Kawi dan Distrik Pare. Jepang berupaya menahan perlawanan Supriyadi dengan memblokir serta mengepung pertahanannya. Namun pasukan Supriyadi tetap bertahan. Jepang pun sulit mematahkan tekad dan keuletan pasukan Supriyadi. Untuk itu, Jepang menggunakan tipu muslihat.
Kolonel Katagiri kemudian bertukar pikiran dengan anggota pasukan PETA dengan halus. Sikap itu membalikkan hati para pemuda yang sebelumnya geram terhadap Jepang. Kolonel Katagiri berhasil mengadakan persetujuan dengan mereka. Para pemuda PETA yang melancarkan serangan pun bersedia kembali ke daidan dan menyerahkan senjata. Katagiri menjanjikan pemberontakan yang telah terjadi hanyalah masalah intern yang tak perlu dibawa ke pengadilan militer. Semua akan diurus oleh Daidanco Surakhmad. Di sana sudah berderet barisan perwiran di bawah pimpinan Daidanco Surakhmad. Kepada Surakhmad, Muradi melaporkan mereka sudah kembali dan menyesal karena telah melawan Jepang. Karena sudah malam, Muradi tak melihat bahwa pasukan Jepang sudah mengepung mereka. Senjata mereka pun dilucuti dan langsung ditahan. Muradi dan anak buahnya diangkut ke markas kempetai Blitar. Ada yang dihukum seumur hidup dan ada yang dihukum mati. Mereka yang dipidana mati yakni dr. Ismail, Muradi, Suparyono, Halir Mankudijoyo, Sunanto, dan Sudarmo. Sementara Supriyadi sendiri tidak jelas nasibnya dan tidak disebut dalam persidangan. Tidak diketahui apakah ia tewas dalam pertempuran atau dihukum mati secara rahasia.
Nama Anggota Kelompok 2 :
- Aisyah Sazma T.
- Adhilla Mulia
- Alif Nafis Risqullah
- Angelika Putri
- Danu Septiawan
- Kanaia Maharani
- Nurlatifah Ramadhani
- Rayhan Dimento
- Raznan Hafizan
- Riza Razu
- T.M Atallah Fadil
- Widya Anggita
KOMPAS.com - Tindakan
Jepang yang menyengsarakan rakyat Indonesia selama pendudukan, memicu
rakyat melakukan perlawanan.
Pembela Tanah Air (PETA) berada di bawah kendali pemerintah militer
Jepang bahkan ikut memberontak.
Ini disebabkan karena perwira PETA kerap direndahkan oleh Jepang. Para
syidokan yang melatih mereka bersikap congkak dan sombong.
Mereka juga tak tahan melihat romusha dan pemerasan yang dilakukan
Jepang.
Dikutip dari Masa Pendudukan Jepang di Indonesia (2019), salah satu
perlawanan PETA terjadi di Daidan (Batalyon) Blitar. Daidan Blitar
dibentuk pada 25 Desember 1943. Pemimpinnya adalah Shodanco Supriyadi.
Baca juga: PETA, Pasukan Indonesia Bentukan Jepang
Saat itu, Supriyadi dikenal sebagai pemrakarsa pemberontakan terhadap
kekuasaan pemerintah Jepang.
Tak tahan melihat romusha
Pemberontakan dipicu kejadian usai latihan militer. Sore itu, anggota
Daidan Blitar baru pulang latihan.
Tiba-tiba mereka mendengar jeritan para petani. Petani dipaksa menjual
padinya kepada kumiai (organisasi pembeli padi) melebihi jatah yang
telah ditentukan.
Itu mengakibatkan padi untuk kebutuhan keluarganya sendiri tak cukup.
Mereka terancam kelaparan.
Para tentara PETA juga mendengar Jepang telah memerintahkan pembelian
telur besar-besaran dengan harga murah untuk tentara PETA. Padahal
mereka sendiri tidak pernah mendapatkan jatah telur.
Baca juga: Kerja Rodi dan Romusha, Kerja Paksa Zaman Penjajahan
Kekecewaan tentara PETA makin menjadi-jadi ketika mereka ditugasi
mengawas pekerjaan para romusha membangun kubu di Pantai Selatan.
Sejak dini hari, para romusha dipaksa bekerja berat hingga sore. Tanpa
makan dan tanpa upah.
Makanan dan bantuan kesehatan sangat minim sehingga separuh dari mereka
jatuh sakit dan meninggal dalam waktu singkat.
Pada akhir 1944, sejumlah penduduk laki-laki di desa-desa sekitar mereka
berkurang sehingga sebagai gantinya dikerahkan romusha perempuqan.
Para perempuan pun mengalami penyiksaan dan menjadi korban. Jumlah
korban romusha perempuan lebih banyak dari romusha laki-laki.
Baca juga: Fujinkai, Barisan Wanita Bentukan Jepang
Penderitaan rakyat memunculkan rasa nasionalisme dan keprihatinan dari
para tentara PETA Blitar.
Supriyadi pun pernah menggelar rapat rahasia. Saat itu ia mengungkapkan
bahwa tujuan perlawanan adalah untuk mencapai kemerdekaan.
Kemudian, Shodanco Suparjono juga kerap mengajak bawahannya untuk
menyanyikan Indonesia Raya dan Di Timur Matahari.
Shodanco Partoharjono bahkan mengibarkan bendera Merah Putih di sebuah
lapangan besar pada 14 Februari 1945.
Baca juga: Heiho dan PETA, Organisasi Militer Bentukan Jepang
Supriyadi, Pemimpin pemberontakan PETA di Blitar.
Lihat Foto
Supriyadi, Pemimpin pemberontakan PETA di Blitar.(Kementerian Sosial)
Pemberontakan Supriyadi
Dikutip dari Mencari Supriyadi: Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno
(2008), pada 29 Februari 1945 dini hari, Supriyadi dan pasukannya mulai
bergerak melawan tentara Jepang.
Mereka melepaskan tembakan mortir, senapan mesin, dan granat, lalu
keluar dengan senjata lengkap.
Setelah Jepang mengetahui adanya aksi itu, Jepang segera mendatangkan
pasukannya. Pasukan Jepang juag dipersenjatai tank dan pesawat udara.
Mereka mencoba menghalau tentara PETA yang melakukan perlawanan.
Kekuatan tentara Jepang sulit ditandingi. Jepang menguasai seluruh Kota
Blitar.
Pimpinan tentara Jepang pun menyerukan agar tentara PETA menyerah dan
kembali ke kesatuan masing-masing.
Baca juga: Perlawanan Rakyat Indonesia Terhadap Jepang
Beberapa kesatuan tunduk pada perintah Jepang. Akan tetapi mereka yang
kembali justru ditangkap, ditahan, dan disiksa polisi Jepang.
Kurang lebih setengah pasukan Supriyadi kembali. Namun Supriyadi
sendiri, Muradi, dan sisa pasukannya tetap setia melawan.
Mereka membuat pertahanan di lereng Gunung Kawi dan Distrik Pare.
Jepang berupaya menahan perlawanan Supriyadi dengan memblokir serta
mengepung pertahanannya. Namun pasukan Supriyadi tetap bertahan.
Jepang pun sulit mematahkan tekad dan keuletan pasukan Supriyadi. Untuk
itu, Jepang menggunakan tipu muslihat.
Baca juga: Perang Asia Timur Raya: Latar Belakang dan Posisi Jepang
Komandan pasukan Jepang, Kolonel Katagiri berpura-pura menyerah kepada
pasukan Muradi. Kolonel Katagiri kemudian bertukar pikiran dengan
anggota pasukan PETA dengan halus.
Sikap itu membalikkan hati para pemuda yang sebelumnya geram terhadap
Jepang.
Kolonel Katagiri berhasil mengadakan persetujuan dengan mereka. Para
pemuda PETA yang melancarkan serangan pun bersedia kembali ke daidan dan
menyerahkan senjata.
Katagiri menjanjikan pemberontakan yang telah terjadi hanyalah masalah
intern yang tak perlu dibawa ke pengadilan militer.
Semua akan diurus oleh Daidanco Surakhmad.
Baca juga: Sistem Pemerintahan Militer Jepang di Indonesia
Dijebak
Berdasarkan kesepakatan itu, maka pada suatu hari sekitar pukul 8 malam,
Muradi dan pasukannya kembali ke daidan.
Di sana sudah berderet barisan perwiran di bawah pimpinan Daidanco
Surakhmad.
Kepada Surakhmad, Muradi melaporkan mereka sudah kembali dan menyesal
karena telah melawan Jepang.
Karena sudah malam, Muradi tak melihat bahwa pasukan Jepang sudah
mengepung mereka. Senjata mereka pun dilucuti dan langsung ditahan.
Muradi dan anak buahnya diangkut ke markas kempetai Blitar.
Baca juga: Dampak Pendudukan Jepang di Indonesia
Sementara Supriyadi yang masih bertahan, akhirnya berhasil ditangkap
juga oleh Jepang. Mereka semua, sebanyak 68 orang, diadili di depan
Mahkamah Militer Jepang di Jakarta.
Ada yang dihukum seumur hidup dan ada yang dihukum mati. Mereka yang
dipidana mati yakni dr. Ismail, Muradi, Suparyono, Halir Mankudijoyo,
Sunanto, dan Sudarmo.
Sementara Supriyadi sendiri tidak jelas nasibnya dan tidak disebut dalam
persidangan. Tidak diketahui apakah ia tewas dalam pertempuran atau
dihukum mati secara rahasia.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pemberontakan PETA di Blitar", https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/16/190000769/pemberontakan-peta-di-blitar?page=all.
Penulis : Nibras Nada Nailufar
Editor : Nibras Nada Nail
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pemberontakan PETA di Blitar", https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/16/190000769/pemberontakan-peta-di-blitar?page=all.
Penulis : Nibras Nada Nailufar
Editor : Nibras Nada Nail
KOMPAS.com - Tindakan
Jepang yang menyengsarakan rakyat Indonesia selama pendudukan, memicu
rakyat melakukan perlawanan.
Pembela Tanah Air (PETA) berada di bawah kendali pemerintah militer
Jepang bahkan ikut memberontak.
Ini disebabkan karena perwira PETA kerap direndahkan oleh Jepang. Para
syidokan yang melatih mereka bersikap congkak dan sombong.
Mereka juga tak tahan melihat romusha dan pemerasan yang dilakukan
Jepang.
Dikutip dari Masa Pendudukan Jepang di Indonesia (2019), salah satu
perlawanan PETA terjadi di Daidan (Batalyon) Blitar. Daidan Blitar
dibentuk pada 25 Desember 1943. Pemimpinnya adalah Shodanco Supriyadi.
Baca juga: PETA, Pasukan Indonesia Bentukan Jepang
Saat itu, Supriyadi dikenal sebagai pemrakarsa pemberontakan terhadap
kekuasaan pemerintah Jepang.
Tak tahan melihat romusha
Pemberontakan dipicu kejadian usai latihan militer. Sore itu, anggota
Daidan Blitar baru pulang latihan.
Tiba-tiba mereka mendengar jeritan para petani. Petani dipaksa menjual
padinya kepada kumiai (organisasi pembeli padi) melebihi jatah yang
telah ditentukan.
Itu mengakibatkan padi untuk kebutuhan keluarganya sendiri tak cukup.
Mereka terancam kelaparan.
Para tentara PETA juga mendengar Jepang telah memerintahkan pembelian
telur besar-besaran dengan harga murah untuk tentara PETA. Padahal
mereka sendiri tidak pernah mendapatkan jatah telur.
Baca juga: Kerja Rodi dan Romusha, Kerja Paksa Zaman Penjajahan
Kekecewaan tentara PETA makin menjadi-jadi ketika mereka ditugasi
mengawas pekerjaan para romusha membangun kubu di Pantai Selatan.
Sejak dini hari, para romusha dipaksa bekerja berat hingga sore. Tanpa
makan dan tanpa upah.
Makanan dan bantuan kesehatan sangat minim sehingga separuh dari mereka
jatuh sakit dan meninggal dalam waktu singkat.
Pada akhir 1944, sejumlah penduduk laki-laki di desa-desa sekitar mereka
berkurang sehingga sebagai gantinya dikerahkan romusha perempuqan.
Para perempuan pun mengalami penyiksaan dan menjadi korban. Jumlah
korban romusha perempuan lebih banyak dari romusha laki-laki.
Baca juga: Fujinkai, Barisan Wanita Bentukan Jepang
Penderitaan rakyat memunculkan rasa nasionalisme dan keprihatinan dari
para tentara PETA Blitar.
Supriyadi pun pernah menggelar rapat rahasia. Saat itu ia mengungkapkan
bahwa tujuan perlawanan adalah untuk mencapai kemerdekaan.
Kemudian, Shodanco Suparjono juga kerap mengajak bawahannya untuk
menyanyikan Indonesia Raya dan Di Timur Matahari.
Shodanco Partoharjono bahkan mengibarkan bendera Merah Putih di sebuah
lapangan besar pada 14 Februari 1945.
Baca juga: Heiho dan PETA, Organisasi Militer Bentukan Jepang
Supriyadi, Pemimpin pemberontakan PETA di Blitar.
Lihat Foto
Supriyadi, Pemimpin pemberontakan PETA di Blitar.(Kementerian Sosial)
Pemberontakan Supriyadi
Dikutip dari Mencari Supriyadi: Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno
(2008), pada 29 Februari 1945 dini hari, Supriyadi dan pasukannya mulai
bergerak melawan tentara Jepang.
Mereka melepaskan tembakan mortir, senapan mesin, dan granat, lalu
keluar dengan senjata lengkap.
Setelah Jepang mengetahui adanya aksi itu, Jepang segera mendatangkan
pasukannya. Pasukan Jepang juag dipersenjatai tank dan pesawat udara.
Mereka mencoba menghalau tentara PETA yang melakukan perlawanan.
Kekuatan tentara Jepang sulit ditandingi. Jepang menguasai seluruh Kota
Blitar.
Pimpinan tentara Jepang pun menyerukan agar tentara PETA menyerah dan
kembali ke kesatuan masing-masing.
Baca juga: Perlawanan Rakyat Indonesia Terhadap Jepang
Beberapa kesatuan tunduk pada perintah Jepang. Akan tetapi mereka yang
kembali justru ditangkap, ditahan, dan disiksa polisi Jepang.
Kurang lebih setengah pasukan Supriyadi kembali. Namun Supriyadi
sendiri, Muradi, dan sisa pasukannya tetap setia melawan.
Mereka membuat pertahanan di lereng Gunung Kawi dan Distrik Pare.
Jepang berupaya menahan perlawanan Supriyadi dengan memblokir serta
mengepung pertahanannya. Namun pasukan Supriyadi tetap bertahan.
Jepang pun sulit mematahkan tekad dan keuletan pasukan Supriyadi. Untuk
itu, Jepang menggunakan tipu muslihat.
Baca juga: Perang Asia Timur Raya: Latar Belakang dan Posisi Jepang
Komandan pasukan Jepang, Kolonel Katagiri berpura-pura menyerah kepada
pasukan Muradi. Kolonel Katagiri kemudian bertukar pikiran dengan
anggota pasukan PETA dengan halus.
Sikap itu membalikkan hati para pemuda yang sebelumnya geram terhadap
Jepang.
Kolonel Katagiri berhasil mengadakan persetujuan dengan mereka. Para
pemuda PETA yang melancarkan serangan pun bersedia kembali ke daidan dan
menyerahkan senjata.
Katagiri menjanjikan pemberontakan yang telah terjadi hanyalah masalah
intern yang tak perlu dibawa ke pengadilan militer.
Semua akan diurus oleh Daidanco Surakhmad.
Baca juga: Sistem Pemerintahan Militer Jepang di Indonesia
Dijebak
Berdasarkan kesepakatan itu, maka pada suatu hari sekitar pukul 8 malam,
Muradi dan pasukannya kembali ke daidan.
Di sana sudah berderet barisan perwiran di bawah pimpinan Daidanco
Surakhmad.
Kepada Surakhmad, Muradi melaporkan mereka sudah kembali dan menyesal
karena telah melawan Jepang.
Karena sudah malam, Muradi tak melihat bahwa pasukan Jepang sudah
mengepung mereka. Senjata mereka pun dilucuti dan langsung ditahan.
Muradi dan anak buahnya diangkut ke markas kempetai Blitar.
Baca juga: Dampak Pendudukan Jepang di Indonesia
Sementara Supriyadi yang masih bertahan, akhirnya berhasil ditangkap
juga oleh Jepang. Mereka semua, sebanyak 68 orang, diadili di depan
Mahkamah Militer Jepang di Jakarta.
Ada yang dihukum seumur hidup dan ada yang dihukum mati. Mereka yang
dipidana mati yakni dr. Ismail, Muradi, Suparyono, Halir Mankudijoyo,
Sunanto, dan Sudarmo.
Sementara Supriyadi sendiri tidak jelas nasibnya dan tidak disebut dalam
persidangan. Tidak diketahui apakah ia tewas dalam pertempuran atau
dihukum mati secara rahasia.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pemberontakan PETA di Blitar", https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/16/190000769/pemberontakan-peta-di-blitar?page=all.
Penulis : Nibras Nada Nailufar
Editor : Nibras Nada Nailufar
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pemberontakan PETA di Blitar", https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/16/190000769/pemberontakan-peta-di-blitar?page=all.
Penulis : Nibras Nada Nailufar
Editor : Nibras Nada Nailufar
KOMPAS.com - Tindakan
Jepang yang menyengsarakan rakyat Indonesia selama pendudukan, memicu
rakyat melakukan perlawanan.
Pembela Tanah Air (PETA) berada di bawah kendali pemerintah militer
Jepang bahkan ikut memberontak.
Ini disebabkan karena perwira PETA kerap direndahkan oleh Jepang. Para
syidokan yang melatih mereka bersikap congkak dan sombong.
Mereka juga tak tahan melihat romusha dan pemerasan yang dilakukan
Jepang.
Dikutip dari Masa Pendudukan Jepang di Indonesia (2019), salah satu
perlawanan PETA terjadi di Daidan (Batalyon) Blitar. Daidan Blitar
dibentuk pada 25 Desember 1943. Pemimpinnya adalah Shodanco Supriyadi.
Baca juga: PETA, Pasukan Indonesia Bentukan Jepang
Saat itu, Supriyadi dikenal sebagai pemrakarsa pemberontakan terhadap
kekuasaan pemerintah Jepang.
Tak tahan melihat romusha
Pemberontakan dipicu kejadian usai latihan militer. Sore itu, anggota
Daidan Blitar baru pulang latihan.
Tiba-tiba mereka mendengar jeritan para petani. Petani dipaksa menjual
padinya kepada kumiai (organisasi pembeli padi) melebihi jatah yang
telah ditentukan.
Itu mengakibatkan padi untuk kebutuhan keluarganya sendiri tak cukup.
Mereka terancam kelaparan.
Para tentara PETA juga mendengar Jepang telah memerintahkan pembelian
telur besar-besaran dengan harga murah untuk tentara PETA. Padahal
mereka sendiri tidak pernah mendapatkan jatah telur.
Baca juga: Kerja Rodi dan Romusha, Kerja Paksa Zaman Penjajahan
Kekecewaan tentara PETA makin menjadi-jadi ketika mereka ditugasi
mengawas pekerjaan para romusha membangun kubu di Pantai Selatan.
Sejak dini hari, para romusha dipaksa bekerja berat hingga sore. Tanpa
makan dan tanpa upah.
Makanan dan bantuan kesehatan sangat minim sehingga separuh dari mereka
jatuh sakit dan meninggal dalam waktu singkat.
Pada akhir 1944, sejumlah penduduk laki-laki di desa-desa sekitar mereka
berkurang sehingga sebagai gantinya dikerahkan romusha perempuqan.
Para perempuan pun mengalami penyiksaan dan menjadi korban. Jumlah
korban romusha perempuan lebih banyak dari romusha laki-laki.
Baca juga: Fujinkai, Barisan Wanita Bentukan Jepang
Penderitaan rakyat memunculkan rasa nasionalisme dan keprihatinan dari
para tentara PETA Blitar.
Supriyadi pun pernah menggelar rapat rahasia. Saat itu ia mengungkapkan
bahwa tujuan perlawanan adalah untuk mencapai kemerdekaan.
Kemudian, Shodanco Suparjono juga kerap mengajak bawahannya untuk
menyanyikan Indonesia Raya dan Di Timur Matahari.
Shodanco Partoharjono bahkan mengibarkan bendera Merah Putih di sebuah
lapangan besar pada 14 Februari 1945.
Baca juga: Heiho dan PETA, Organisasi Militer Bentukan Jepang
Supriyadi, Pemimpin pemberontakan PETA di Blitar.
Lihat Foto
Supriyadi, Pemimpin pemberontakan PETA di Blitar.(Kementerian Sosial)
Pemberontakan Supriyadi
Dikutip dari Mencari Supriyadi: Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno
(2008), pada 29 Februari 1945 dini hari, Supriyadi dan pasukannya mulai
bergerak melawan tentara Jepang.
Mereka melepaskan tembakan mortir, senapan mesin, dan granat, lalu
keluar dengan senjata lengkap.
Setelah Jepang mengetahui adanya aksi itu, Jepang segera mendatangkan
pasukannya. Pasukan Jepang juag dipersenjatai tank dan pesawat udara.
Mereka mencoba menghalau tentara PETA yang melakukan perlawanan.
Kekuatan tentara Jepang sulit ditandingi. Jepang menguasai seluruh Kota
Blitar.
Pimpinan tentara Jepang pun menyerukan agar tentara PETA menyerah dan
kembali ke kesatuan masing-masing.
Baca juga: Perlawanan Rakyat Indonesia Terhadap Jepang
Beberapa kesatuan tunduk pada perintah Jepang. Akan tetapi mereka yang
kembali justru ditangkap, ditahan, dan disiksa polisi Jepang.
Kurang lebih setengah pasukan Supriyadi kembali. Namun Supriyadi
sendiri, Muradi, dan sisa pasukannya tetap setia melawan.
Mereka membuat pertahanan di lereng Gunung Kawi dan Distrik Pare.
Jepang berupaya menahan perlawanan Supriyadi dengan memblokir serta
mengepung pertahanannya. Namun pasukan Supriyadi tetap bertahan.
Jepang pun sulit mematahkan tekad dan keuletan pasukan Supriyadi. Untuk
itu, Jepang menggunakan tipu muslihat.
Baca juga: Perang Asia Timur Raya: Latar Belakang dan Posisi Jepang
Komandan pasukan Jepang, Kolonel Katagiri berpura-pura menyerah kepada
pasukan Muradi. Kolonel Katagiri kemudian bertukar pikiran dengan
anggota pasukan PETA dengan halus.
Sikap itu membalikkan hati para pemuda yang sebelumnya geram terhadap
Jepang.
Kolonel Katagiri berhasil mengadakan persetujuan dengan mereka. Para
pemuda PETA yang melancarkan serangan pun bersedia kembali ke daidan dan
menyerahkan senjata.
Katagiri menjanjikan pemberontakan yang telah terjadi hanyalah masalah
intern yang tak perlu dibawa ke pengadilan militer.
Semua akan diurus oleh Daidanco Surakhmad.
Baca juga: Sistem Pemerintahan Militer Jepang di Indonesia
Dijebak
Berdasarkan kesepakatan itu, maka pada suatu hari sekitar pukul 8 malam,
Muradi dan pasukannya kembali ke daidan.
Di sana sudah berderet barisan perwiran di bawah pimpinan Daidanco
Surakhmad.
Kepada Surakhmad, Muradi melaporkan mereka sudah kembali dan menyesal
karena telah melawan Jepang.
Karena sudah malam, Muradi tak melihat bahwa pasukan Jepang sudah
mengepung mereka. Senjata mereka pun dilucuti dan langsung ditahan.
Muradi dan anak buahnya diangkut ke markas kempetai Blitar.
Baca juga: Dampak Pendudukan Jepang di Indonesia
Sementara Supriyadi yang masih bertahan, akhirnya berhasil ditangkap
juga oleh Jepang. Mereka semua, sebanyak 68 orang, diadili di depan
Mahkamah Militer Jepang di Jakarta.
Ada yang dihukum seumur hidup dan ada yang dihukum mati. Mereka yang
dipidana mati yakni dr. Ismail, Muradi, Suparyono, Halir Mankudijoyo,
Sunanto, dan Sudarmo.
Sementara Supriyadi sendiri tidak jelas nasibnya dan tidak disebut dalam
persidangan. Tidak diketahui apakah ia tewas dalam pertempuran atau
dihukum mati secara rahasia.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pemberontakan PETA di Blitar", https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/16/190000769/pemberontakan-peta-di-blitar?page=all.
Penulis : Nibras Nada Nailufar
Editor : Nibras Nada Nailufa
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pemberontakan PETA di Blitar", https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/16/190000769/pemberontakan-peta-di-blitar?page=all.
Penulis : Nibras Nada Nailufar
Editor : Nibras Nada Nailufa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar